H. Deni Firman Nurhakim
Kepala KUA Kecamatan Pangkalan
Dalam kebanyakan akad nikah yang dihadiri,
penulis sering menyaksikan wajah-wajah tegang, terutama calon pengantin (catin).
Tampaknya, ketegangan itu muncul akibat rasa khawatir yang berlebihan atas
kelancaran prosesi ijab-qobul. Sepintas, terasa wajar. Karena bagi sebagian catin,
akad nikah yang akan dilangsungkan adalah yang perdana. Namun ternyata,
ketegangan serupa juga dirasakan oleh pasangan catin yang melangsungkan akad
nikah bukan untuk pertama kalinya. Setelah dicermati, ternyata, ketegangan itu
berpangkal pada prosesi akad nikah yang telah memiliki pakem sendiri di masyarakat. Dan sayangnya, sebagian pakem itu berupa mitos yang perlu
diklarifikasi keabsahannya secara hukum, baik fiqh maupun peraturan
perundang-undangan.
Akad Nikah Lebih Utama
Menggunakan Bahasa Arab?
Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai bahasa yang sebaiknya
digunakan dalam akad nikah. Sehingga aturan dalam fiqh munakahat yang dijadikan
acuan pelacakan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni –sebagaimana
dikutip Sayid Sabiq (1983:31-32)- berpendapat, bagi catin yang memahami bahasa
Arab dengan baik, maka ijab-qabulnya harus
menggunakan bahasa Arab. Sehingga apabila yang bersangkutan menggunakan
bahasa selain Arab maka ijab-qobulnya tidak sah. Adapun catin yang tidak
memahami bahasa Arab, maka ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, asalkan semakna
dengan kata “nikah” dan “tazwij”. Dan kewajibannya menggunakan bahasa Arab
menjadi gugur.
Berbeda dengan Ibnu Qudamah, Imam Abu
Hanifah berpendapat, sah akad nikah menggunakan bahasa selain bahasa Arab,
sekalipun yang bersangkutan memahami bahasa Arab. Karena yang terpenting,
kata-kata yang digunakan semakna dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Pandangan
tersebut senada dengan pendapat Jumhur Ulama Syafi’iyah (Wahbah az-Zuhaeli,
1989:41) yang membolehkan akad nikah menggunakan bahasa selain Arab, asalkan dapat
dimengerti. Karena yang menjadi inti suatu akad adalah adanya ungkapan kehendak.
Dan ungkapan tersebut bisa dinyatakan dalam aneka ragam bahasa.
Pendapat Ibnu Taimiyah pun layak
digarisbawahi. Menurutnya, orang nonArab yang belajar bahasa Arab secara dadakan bisa jadi ia tidak memahami
bahasa tersebut sebaik bahasanya sendiri.
Dari paparan di atas menjadi maklum, bahwa
yang menjadi pokok dalam akad nikah adalah adanya kesepahaman antara para pihak
yang melakukan ijab-qabul, bukan bahasa yang digunakan. Sehingga, bila orang
yang tidak memahami bahasa Arab dengan baik “dipaksa” melakukan akad nikah
dalam bahasa Arab selain tidak elok juga dikhawatirkan menimbulkan keraguan tentang
kesahihan prosesi ijab-qobul yang dilangsungkan. Karena berdasarkan pengalaman penulis
bertugas di lapangan, tidak semua catin yang menginginkan akad nikahnya
menggunakan bahasa Arab itu memahami dengan baik makna dari kata-kata
ijab-qabul tersebut. Begitu pula, para saksi. Keinginan catin tersebut tidak
jarang berasal dari keinginan orang-orang lain, semisal calon mertua dan guru
ngajinya ataupun anjuran tokoh kharismatik setempat yang masih dianggap tabu
untuk diabaikan.
Ijab Qabul harus Lancar dan
Satu Tarikan Nafas?
Terkait hal ini, KHI pasal 27 menyebutkan,
“Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak
berselang waktu”. Tidak jarang, berdasarkan pemahaman atas ketentuan
tersebut secara letterlijk, ijab
kabul harus diulang berkali-kali karena masih dinilai tersendat-sendat dan tidak
nyambung (ittishol) antara ijab dan
qabul. Bahkan, dalam sebuah kesempatan akad nikah yang dihadiri penulis, ijab-qabul
tersebut harus diulang oleh wali dan catin pria dengan susah-payah sampai lima
kali !!! Dan itu pun baru berhasil
dilakukan karena lafal qabul-nya ditulis di secarik kertas dan kemudian dibacakan
catin pria. Yang empat kali sebelumnya dinilai tidak sah oleh para saksi karena
ya itu tadi: tersendat-sendat dan tidak lancar, sehingga ijab-qabul terebut
dianggap tidak beruntun dan berselang waktu. Sesulit itukah ijab-qabul dalam pernikahan
Islam?
Kebanyakan ulama sepakat, bahwa
berlangsungnya ijab-qabul dalam satu majelis adalah syarat sahnya akad nikah dari
segi sighat. Artinya, ketika
mengucapkan ijab-qabul tersebut tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain,
atau menurut kebiasaan setempat ada selingan (selain akad nikah) yang
menghalangi peristiwa ijab-qabul.
Yang masih diperselisihkan adalah
menyangkut kesegeraan mengucapkan sighat qabul sesudah ijab (lihat Abdurrahman
Al-Jaziry, 2003:21). Mazhab Hanbali dan Hanafi sependapat bahwa kesegeraan
mengucapkan qabul sesudah ijab tidaklah menjadi syarat, asalkan masih dalam
satu majelis menurut kebiasaan setempat (‘urfi). Mazhab Syafi’i dan Maliky
sependapat bahwa kesegeraan tersebut adalah syarat sah ijab qabul. Menurut
kedua mazhab ini, antara ijab-kabul tidak boleh ada pemisah, kecuali yang dapat
ditoleransi (baca: sebentar). Sehubungan demikian, penulis sependapat dengan Ibrahim
Hosen (1971: 122) yang menyimpulkan, shighat qabul itu tidak harus diucapkan
dengan lancar atau dalam satu tarikan nafas. Karena yang penting, ijab-qabul
tersebut terjadi dalam satu majelis. Dan menurut Ibnu Qudamah, selama
terjadinya akad nikah tetap dipandang satu majelis.
***
‘Ala
kulli hal, penulis
sepakat, akad nikah adalah akad yang sakral dan oleh karenanya harus khidmat
dalam menjalaninya. Tapi kesakralan tersebut tidak perlu dijalani dengan
wajah-wajah tegang. Terlebih lagi, pangkal ketegangan tersebut BUKAN berasal
dari aturan-aturan yang termaktub dalam fiqh munakahat, melainkan dari
pemahaman sebagian orang atas aturan-aturan tersebut yang –sayangnya- diterima
masyarakat begitu saja secara tidak kritis dan akhirnya menjadi mitos yang
membelenggu setiap orang yang akan melangsungkan akad nikah. Wallahu a’lam bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziry, Abdurrahman. Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhibil Arba’ah.
Libanon: Darul Fikr, 2003. Juz 4
Az-Zuhaeli, Wahbah. Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu. Libanon:
Darul Fikr, 1989. Juz 7
Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah,
Thalaq, Rudjuk dan Hukum Kewarisan. Djakarta: Jajasan Ihja ‘Ulumiddin
Indonesia, 1971. Djilid-I
Sabiq, As-Sayid. Fiqhus Sunnah. Libanon: Darul Fikr,
1983. Juz 2