Kamis, 02 Maret 2017

Saksi Nikah: Pengesah Akad Nikah?


H. DENI FIRMAN NURHAKIM
KEPALA KUA KEC. PANGKALAN


Pendahuluan

Sebagai penghulu, usai adegan ijab qobul antara wali nikah atau wakilnya dan pengantin pria, kita biasa menanyakan kesahannya kepada dua orang saksi, “Bagaimana bapak-bapak para saksi, apakah sudah sah dan memenuhi ketentuan syari’at?”. Kalau dijawab sah, maka akad nikah dinilai cukup. Tapi kalau saksi menilai belum sah, maka akad nikah pun diulangi lagi sampai dua orang saksi nikah tersebut menyatakan sah.

Kebiasaan di atas sudah sangat lazim dalam suatu pernikahan. Sehingga dalam pernikahan yang pernah penulis tonton di TV yang disiarkan secara nasional dan dihadiri tokoh-tokoh besar seperti Kyai atau Profesor pakar hukum Islam pun, adegan itu juga terjadi.

Pertanyaannya, benarkah saksi nikah itu juga berfungsi sebagai pengesah akad nikah? Kalau benar, apa dasarnya? Begitu pula sebaliknya, kalau tidak benar, apa alasannya? 

Tulisan ini berupaya untuk mendudukkan saksi dalam akad nikah secara proporsional, dan berusaha memisahkan mana fungsi saksi nikah yang termasuk fakta serta mana yang mitos, dengan merujuk pada keterangan dalam kitab fiqh munakahat dan peraturan perundang-undangan tentang pernikahan.

***

Kedudukan Saksi dalam Akad Nikah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saksi adalah orang yg melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Pengertian lain soal saksi bisa ditemukan dalam KUHAP Pasal 1:26, yakni: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saksi nikah adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri suatu peristiwa/kejadian akad nikah antara wali nikah/wakilnya dengan calon suami/wakilnya dengan tujuan mereka kelak dapat memberikan keterangan yang diperlukan guna kepentingan perkara tentang pernikahan yang diketahuinya itu.

Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan termasuk rukun nikah, melainkan syarat sah nikah. Dalam pandangan mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat: a. shigat (ijab qobul), b. isteri, c. suami, dan d. wali (Wahbah Zuhaeli, Juz 7, 1989: 36-37). Adapun saksi dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya maskawin. Namun demikian, ada sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir inilah yang kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” (pasal 24:1). Sehingga, “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi” (pasal 24:2).

Ketentuan KHI soal saksi nikah di atas, juga sebelumnya diatur dalam pasal 10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan: “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.

Alhasil, terlepas dari perbedaan pendapat antara saksi sebagai syarat nikah atau saksi sebagai rukun nikah, yang jelas saksi menempati posisi penting dalam akad nikah. Karena Nabi SAW memerintahkan kita mengumumkan pernikahan yang terjadi, dengan sabdanya: “A’linuu an-Nikaah...” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadits ini, hikmah suatu kesaksian adalah untuk mengumumkan (I’lan) telah terjadinya suatu pernikahan dan mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan di masa mendatang bila terjadi pengingkaran nikah (Wahbah Zuhaeli, 1989: 73).   


Siapa Pengesah Akad Nikah?

Sebagaimana tercantum dalam pasal 2:1 UU No 1/1974 tentang perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, yang menjadi penentu sah/tidaknya suatu pernikahan orang Islam adalah bisa dilacak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) soal itu. Dalam ketentuan fiqh Islam yang masyhur yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 KHI, secara singkat dapat ditegaskan bahwa pernikahan itu sah apabila telah terpenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qobul), berikut syarat-syarat yang mengiringinya.

Yang menjadi persoalan di sini, siapa pihak yang berhak dan berwenang menetapkan sah/tidaknya akad nikah? Apakah saksi nikah, sebagaimana yang biasa terjadi? Ataukah penghulu?

Menurut hemat penulis, dengan melihat fungsi saksi dalam akad nikah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, saksi bukan pihak yang berhak mengesahkan akad nikah. Keberadaannya memang penting, karena di masa sekarang (sesaat setelah akad nikah) fungsinya adalah untuk mengumumkan telah terjadi suatu pernikahan. Dan di masa mendatang, fungsinya adalah untuk mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan bila terjadi pengingkaran pernikahan.  

Dengan demikian, mempertimbangkan kedudukan penghulu sebagai pihak yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk oleh Menteri Agama (Pasal 1:1 Permenpan No. PER/62?M.PAN/6/2005) atas nama Presiden selaku pemangku ulul amri di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pihak yang berhak untuk menyatakan dan menetapkan sah tidaknya setiap tahapan dalam proses pernikahan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman kehendak nikah, dan pelaksanaan akad nikah menurut hukum Islam yang dilakukan oleh warga negara/penduduk Indonesia yang beragama Islam. Kenyataan tersebut, menurut Suma (2007:25) harap disadari dengan sesadar-sadarnya oleh para penghulu. Itulah sebabnya, di setiap akhir prosesi akad nikah, penghulu diminta untuk mengumumkan bahwa upacara akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum sebagai suami isteri (lihat Departemen Agama RI, 2008: h. 17). Wallaahu a’lam bis showaab.

***


DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Juz 7, Libanon: Dar Al-Fikr, 1989, Cet. Ke-3

Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Ditjen Binbaga Agama Islam, 2001

Departemen Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam, 2006

Departemen Agama RI, Pedoman Akad Nikah, Jakarta: Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah Dirjen Bimas Islam, 2008

Sabiq, As-Sayid, Fiqhu As-Sunah, Juz 2, Libanon: Dar Al-Fikr, 1983, Cet. Ke-4

Suma, Muhammad Amin, Optimalisasi Peran KUA dalam Pelayanan dan Pembinaan Masyarakat, Makalah Semiloka, 03 Mei 2007


































    


Visi, Misi, dan Motto Pelayanan

Visi
“Terwujudnya Aparatur KUA
yang Berintegritas dan Profesional
menuju Masyarakat Kec. Pangkalan yang Taat Beragama, Cerdas, dan Sejahtera Lahir-Batin”
Misi
· Meningkatkan kualitas Aparatur KUA Kec. Pangkalan menjadi berakhlak mulia dan berkinerja istimewa;

·      Meningkatkan kualitas 9 (sembilan) layanan dan bimbingan kepada masyarakat, yakni dalam urusan: nikah/rujuk, penerangan agama Islam, pendayagunaan zakat, pemberdayaan wakaf, penyelenggaraan bimbingan manasik Haji Reguler tingkat kecamatan, bimbingan Keluarga Sakinah, bimbingan Kemesjidan, hisab rukyat, dan pembinaan syari’ah;

· Meningkatkan kualitas penyusunan statistik, dokumentasi, dan pengelolaan sistem informasi manajemen KUA yang akurat dan accessable;

· Meningkatkan tata usaha rumah tangga KUA yang profesional dan transparan;

·  Memperkokoh kerukunan umat beragama atas dasar saling hormat menghormati;

· Mengupayakan sinergi dengan instansi pemerintahan setempat dan elemen masyarakat sekitar dalam rangka mewujudkan masyarakat Kecamatan Pangkalan yang taat beragama, cerdas, dan sejahtera lahir-batin.

Motto Pelayanan
Cepat, Tepat, dan Bersahabat

Minggu, 19 Februari 2017

Mitos-Mitos dalam Akad Nikah


H. Deni Firman Nurhakim
Kepala KUA Kecamatan Pangkalan

Dalam kebanyakan akad nikah yang dihadiri, penulis sering menyaksikan wajah-wajah tegang, terutama calon pengantin (catin). Tampaknya, ketegangan itu muncul akibat rasa khawatir yang berlebihan atas kelancaran prosesi ijab-qobul. Sepintas, terasa wajar. Karena bagi sebagian catin, akad nikah yang akan dilangsungkan adalah yang perdana. Namun ternyata, ketegangan serupa juga dirasakan oleh pasangan catin yang melangsungkan akad nikah bukan untuk pertama kalinya. Setelah dicermati, ternyata, ketegangan itu berpangkal pada prosesi akad nikah yang telah memiliki pakem sendiri di masyarakat. Dan sayangnya, sebagian pakem itu berupa mitos yang perlu diklarifikasi keabsahannya secara hukum, baik fiqh maupun peraturan perundang-undangan.

Akad Nikah Lebih Utama Menggunakan Bahasa Arab?

Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai bahasa yang sebaiknya digunakan dalam akad nikah. Sehingga aturan dalam fiqh munakahat yang dijadikan acuan pelacakan.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni –sebagaimana dikutip Sayid Sabiq (1983:31-32)- berpendapat, bagi catin yang memahami bahasa Arab dengan baik, maka ijab-qabulnya harus menggunakan bahasa Arab. Sehingga apabila yang bersangkutan menggunakan bahasa selain Arab maka ijab-qobulnya tidak sah. Adapun catin yang tidak memahami bahasa Arab, maka ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, asalkan semakna dengan kata “nikah” dan “tazwij”. Dan kewajibannya menggunakan bahasa Arab menjadi gugur.

Berbeda dengan Ibnu Qudamah, Imam Abu Hanifah berpendapat, sah akad nikah menggunakan bahasa selain bahasa Arab, sekalipun yang bersangkutan memahami bahasa Arab. Karena yang terpenting, kata-kata yang digunakan semakna dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Pandangan tersebut senada dengan pendapat Jumhur Ulama Syafi’iyah (Wahbah az-Zuhaeli, 1989:41) yang membolehkan akad nikah menggunakan bahasa selain Arab, asalkan dapat dimengerti. Karena yang menjadi inti suatu akad adalah adanya ungkapan kehendak. Dan ungkapan tersebut bisa dinyatakan dalam aneka ragam bahasa.

Pendapat Ibnu Taimiyah pun layak digarisbawahi. Menurutnya, orang nonArab yang belajar bahasa Arab secara dadakan bisa jadi ia tidak memahami bahasa tersebut sebaik bahasanya sendiri.

Dari paparan di atas menjadi maklum, bahwa yang menjadi pokok dalam akad nikah adalah adanya kesepahaman antara para pihak yang melakukan ijab-qabul, bukan bahasa yang digunakan. Sehingga, bila orang yang tidak memahami bahasa Arab dengan baik “dipaksa” melakukan akad nikah dalam bahasa Arab selain tidak elok juga dikhawatirkan menimbulkan keraguan tentang kesahihan prosesi ijab-qobul yang dilangsungkan. Karena berdasarkan pengalaman penulis bertugas di lapangan, tidak semua catin yang menginginkan akad nikahnya menggunakan bahasa Arab itu memahami dengan baik makna dari kata-kata ijab-qabul tersebut. Begitu pula, para saksi. Keinginan catin tersebut tidak jarang berasal dari keinginan orang-orang lain, semisal calon mertua dan guru ngajinya ataupun anjuran tokoh kharismatik setempat yang masih dianggap tabu untuk diabaikan.


Ijab Qabul harus Lancar dan Satu Tarikan Nafas?

Terkait hal ini, KHI pasal 27 menyebutkan, “Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu”. Tidak jarang, berdasarkan pemahaman atas ketentuan tersebut secara letterlijk, ijab kabul harus diulang berkali-kali karena masih dinilai tersendat-sendat dan tidak nyambung (ittishol) antara ijab dan qabul. Bahkan, dalam sebuah kesempatan akad nikah yang dihadiri penulis, ijab-qabul tersebut harus diulang oleh wali dan catin pria dengan susah-payah sampai lima kali !!! Dan itu pun baru berhasil dilakukan karena lafal qabul-nya ditulis di secarik kertas dan kemudian dibacakan catin pria. Yang empat kali sebelumnya dinilai tidak sah oleh para saksi karena ya itu tadi: tersendat-sendat dan tidak lancar, sehingga ijab-qabul terebut dianggap tidak beruntun dan berselang waktu. Sesulit itukah ijab-qabul dalam pernikahan Islam?

Kebanyakan ulama sepakat, bahwa berlangsungnya ijab-qabul dalam satu majelis adalah syarat sahnya akad nikah dari segi sighat. Artinya, ketika mengucapkan ijab-qabul tersebut tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada selingan (selain akad nikah) yang menghalangi peristiwa ijab-qabul.

Yang masih diperselisihkan adalah menyangkut kesegeraan mengucapkan sighat qabul sesudah ijab (lihat Abdurrahman Al-Jaziry, 2003:21). Mazhab Hanbali dan Hanafi sependapat bahwa kesegeraan mengucapkan qabul sesudah ijab tidaklah menjadi syarat, asalkan masih dalam satu majelis menurut kebiasaan setempat (‘urfi). Mazhab Syafi’i dan Maliky sependapat bahwa kesegeraan tersebut adalah syarat sah ijab qabul. Menurut kedua mazhab ini, antara ijab-kabul tidak boleh ada pemisah, kecuali yang dapat ditoleransi (baca: sebentar). Sehubungan demikian, penulis sependapat dengan Ibrahim Hosen (1971: 122) yang menyimpulkan, shighat qabul itu tidak harus diucapkan dengan lancar atau dalam satu tarikan nafas. Karena yang penting, ijab-qabul tersebut terjadi dalam satu majelis. Dan menurut Ibnu Qudamah, selama terjadinya akad nikah tetap dipandang satu majelis.

***

‘Ala kulli hal, penulis sepakat, akad nikah adalah akad yang sakral dan oleh karenanya harus khidmat dalam menjalaninya. Tapi kesakralan tersebut tidak perlu dijalani dengan wajah-wajah tegang. Terlebih lagi, pangkal ketegangan tersebut BUKAN berasal dari aturan-aturan yang termaktub dalam fiqh munakahat, melainkan dari pemahaman sebagian orang atas aturan-aturan tersebut yang –sayangnya- diterima masyarakat begitu saja secara tidak kritis dan akhirnya menjadi mitos yang membelenggu setiap orang yang akan melangsungkan akad nikah. Wallahu a’lam bis showab.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziry, Abdurrahman. Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhibil Arba’ah. Libanon: Darul Fikr, 2003. Juz 4

Az-Zuhaeli, Wahbah. Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu. Libanon: Darul Fikr, 1989. Juz 7

Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rudjuk dan Hukum Kewarisan. Djakarta: Jajasan Ihja ‘Ulumiddin Indonesia, 1971. Djilid-I

Sabiq, As-Sayid. Fiqhus Sunnah. Libanon: Darul Fikr, 1983. Juz 2